Lingkungan Sebagai Penentu Penyesuaian Diri
Berbagai lingkungan anak seperti
keluarga dan pola di dalamnya, sekolah, masyarakat, kultur, dan agama
berpengaruh terhadap penyesuaian diri anak.
a. Pengaruh Rumah Dan Keluarga
Dari sekian banyak faktor yang mengondisikan penyesuaian diri, faktor
rumah dan keluaga merupakan faktor yang sangat penting, karena keluarga
merupakan satuan kelompok sosial terkecil. Interaksi sosial pertama diperoleh
individu adalah dalam keluarga. Kemampuan intraksi sosial ini kemudian akan
dikembangkan di masyarakat.
b. Hubungna Orang Tua Dan Anak
Pola hubungan antara orang tua
dengan anak akan mempunyai pengaruh terhadap proses penyesuaian dari anak-anak.
Beberapa pola hubungan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri antara lain:
- Menerima ( acceptance ), yaitu situasi hubungan dimana orang tua menerima anaknya dengan baik. Sikap penerimaan ini dapat menimbulkan suasana hangat dan rasa aman bagi anak.
- Menghukum dan disiplin yang berlebihan
Dalam pola ini, hubungan orang
tua dengan anak bersifat keras. Disiplin yang ditanamkan orang tua terlalu kaku
dan berlebihan sehingga dapat menimbulkan suasana psikologis yang kurang
menguntungkan anak.
- Memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan. Perlindungan dan pemanjaan secara berlebihan dapat menimbulkan perasaan tidak aman, cemburu, rendah diri, canggung, dan gejala-gejala salah suai lainnya.
- Penolakan, yaitu pola hubungan dimana orang tua menolak kehadiran anaknya. Beberapa penelitian menunjukan bahwa penolakan orang tua terhadap anaknya dapat menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri.
c.
Hubungan Saudara
Suasana
hubungan saudara yang penuh persahabatan, kooperatif, saling menghormati, penuh
kasih sayang, mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk tercapainya
penyesuaian yang lebih baik. Sebaliknya suasana permusuhan, perselisihan, iri
hati, kebencian, dan sebagainya dapat menimbulkan kesulitan dan kegagalan
penyesuaian diri.
d.
Masyarakat
Keadaan lingkungan masyarakat
diman individu berada merupakan kondisi yang menentukan proses dan pola-pola
penyesuain diri. Kondisi studi menunjukan bahwa banyak gejala tingkah laku
salah satu bersumber dari keadaan masyarakat. Pergaulan yang salah dikalangan
remaja dapat mempengaruhi pola-pola penyesuaian dirinya.
e. Sekolah
Sekolah mempunyai peranan
sebagai media untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral para
siswa. Suasana disekolah baik sosial maupun psikologis menentukan proses dan
pola penyesuaian diri. Disamping itu, hasil pendidikan yang diterima anak
disekolah akan merupakan bekal bagi proses penyesuaian diri di masyarakat.
Kultural Dan Agama Sebagai Penentu Penyesuaian Diri
Proses
penyesuaian diri anak mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat
secara terhadap dipengaruhi oleh faktor-faktor kultur dan agama lingkungan
kultural dimana individu berada dan berintraksi akan menentukan pola-pola
penyesuaian dirinya. Contohnya tata cara kehidupan disekolah, dimasjid, gereja,
dan semacamnya, akan mempengaruhi bagaimana anak menempatkan diri dan bergaul
dengan masyarakat sekitarnya.
Agama
memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik, frustasi dan
ketegangan lainnya. Agama juga memberikan suasana damai dan tenang bagi anak.
Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan
memberikan tuntunan bagi arti, tujuan, dan kestabilan hidup umat manusia.
Kehidupan yang efektif menuntut adanya tuntunan hidup yang mutlak. Sembah yang
dan berdo’a merupakan medium dalam agama untuk menunju ke arah kehidupan yang
berarti. Agama memegang peranan penting sebagai penentu dalam proses
penyesuaian diri.
Adapun
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa, para ahli berbeda
pendapat lanataran sudut pandang dan pendekatan merupakan terhadap ekstensi
siswa tidak sama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penyusun paparan
aliran-aliran yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan siswa.
1.
Aliran Nativisme
Naivisme (
nativism ) adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap
aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Schopenhauer
(1788-1860) seorang filosof jerman. Aliran filasafat nativisme konon dijuluki
sebagai aliran pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam.
Mengapa demikian? Karena para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan
manusia itu ditentukan oleh pembawaannya, sedagkan pengalaman dan pendidikan
tidak berpengaruh apa-apa. Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti ini disebut
”pesimisme pedagogis”.
Sebagi contoh, jika sepasang orang tua ahli musik,
maka anak-anak yang meraka lahirkan akan menjadi pemusik pula. Harimau pun
hanya akan melahirkan harimau, tak akan pernah melahirkan domba. Jadi,
pembawaan dan bakat orang tua selalu berpengaruh mutlak terhadap perkembangan
kehidupan anak-anaknya. Benarkah postulat (anggapan dasar) ini dapat terus
bertahan.
Ambillah contoh, sepasang suami-istri yang
memiliki keistimewaan di bidang politik, tentu anaknya menjadi politikus pula.
Namun, apabila lingkungan, khususnya lingkungan pendidikannya tidak menunjang,
misalnya karena ia memasuki sekolah pertanian, sudah tentu ai tak akan pernah
menjadi politisi tetapi petani.
Aliran nativisme hingga kini masih cukup
berpengaruh dikalangan beberapa orang ahli, tetapi sudah tidak semutlak dulu
lagi. Di antara ahli yang dipandang sebagai nativis ialah Noam A. Chomsky
kelahiran 1928, seorang ahli linguistik yang sangat terkenal saat ini. Chomsky
menganggap bahwa perkembangan penguasaan bahasa pada manusia tidak dapat
dijelaskan semata-mata oleh proses belajar, tetapi juga (yang lebih penting)
oleh adanya ”biological predisposition”
(kecenderungan biologis) yang dibawa sejak lahir.
Namun demikian, Chomsky tidak menafikan sama
sekali peranan belajar dan pengalaman berbahasa, juga lingkungan. Baginya,
semua ini ada pengaruhnya, tetapi pengaruh pembawaan bertata bahasa jauh lebih
besar lagi bagi perkembangan bahasa manusia (Bruno, 1928).
2.
Aliran Empirisisme
Kebalikan dari aliran nativisme adalah aliran
empirisisme (empiricism) dengan tokoh
utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah ”The School of
British Emiricism” (aliran empirisisme Inggris). Namun, aliran ini lebih
berpengaruh terhadap para pemikiran Ameriaka Serikat, sehingga melahirkan
sebuah aliran filsafat bernama ”environmentalisme” (aliran lingkungan) dan
psikologi bernama “etviromental
psychology” (psikologis lingkungan) yang relatif masih baru (Reber, 1988).
Doktrin aliran
empirisisme yang amat mashyur adalah “tabula rasa”, sebuah istilah bahasa latin
yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan, dan
pendidikan dalam arti perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada
lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak
lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini, para penganut emperisisme
(bukan empirisme) menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam
keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa.
Hendak menjadi apa seorang anak kelak bergantung
pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.
Jika seorang siswa memperoleh kesempatan yang
memadai untuk mempelajari ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi seorang
politisi. Karena ia memiliki pengalaman belajar dibidang politik, ia tak akan
pernah menjadi pemusik, walaupun orang tuanya pemusik sejati.
Memang amat sungkar dipungkiri bahwa lingkungan
memiliki pengaruh besar terhadap proses perkembangan dan masa depan siswa.
Dalam hal ini, lingkungan keluarga (bukan bakat pembawaan dari keluarga) dan
lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendanhya mutu
prilaku dan masa depan seorang siswa.
Kondisi sebuah kolompok masyarakat yang
berdomisili dikawasan kumuh dengan kemampuan ekonomi dibawah garis rata-rata
dan tanpa fasilitas umum seperti masjid, sekolah, serta lapangan olahraga lebih
terbukti menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan anak-anak nakal. Anak-anak
dilingkungan seperti ini memang tak punya cukup alasan untuk tidak menjadi
brutal, lebih-lebih kedua orang tuanya kurang atau tidak berpendidikan.
Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu melindungi anak juga dapat menganggu
perkembangan anak. Perilaku memanjakan anak secara berlebihan ini, menurut
hasil penelitian Chazen, et. Al (1983) ternyata berhubungan erat dengan penyimpangan
perilaku dan ketidak mampuan sosial anak pada kemudian hari.
3.
Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi, (convergence) merupakan gabungan antara aliran emperisisme dangan
aliran nativisme. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan
lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia.
Tokoh utama konvergensi barnama Louis William Stern (1871-1938), seorang
filosof dan psikolog jerman.
Aliran filsafat dipeloporinya disebut
”personalisme”, sebuah pemikiran filosofis yang sangat berpengaruh terhadap
disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan dengan manusia. Diantara disiplin ilmu
yang menggunakan asas personalisme adalah ”personlogi” yang mengembangakan
teori yang komprehensif (luas dan lengkap) mengenai kepribadian manusia (Reber,
1988).
Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi
perkembangan manusia, Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya
berpegang pada lingkungan/pengalaman juga tidak berpegang pada pembawaan saja,
tetapi berpegang pada kedua faktor yang sama pentingnya itu. Faktor pembawaan
tidak berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya,
faktor pengalaman tanpa faktor bakat pembawaan tak akan mampu mengembangkan
manusia yang sesuai dengan harapan.
Dalam hal pembawaan yang bersifat rohaniah sangat
sulit kita kenali. Banyak orang yang ahli dibidang ”X” tetapi anaknya ahli
dibidang ”Y”. Anak ini sudah diusahakan agar mempelajari bidang ”X” supaya sama
dengan orang tuanya, tetapi ia menolak dan menunjukan kecenderungan bakat ”Y”.
Ternyata setalah mengikuti pangajaran dibidang ”Y”, anak yang berasal dari
keturunan yang ahli dibidang ”X” itu benar-benar ahli dibidang ”Y” bukan bidang
”X”. Apakah anak tersebut telah manyalahi bakat dan pembawaan keturunan?
Banyak bukti yang menunjukan, bahwa watak dan
bakat seseorang yang tidak sama dengan orang tuanya itu, setelah ditelusuri
watak dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan
demikian, tidak semua watak dan bakat seseorang dapat diturunkan langsung kepada
anak-anaknya, tetapi mungkin kepada cucunya atau anak cucunya. Alhasil, bakat
dan watak dapat tersembunyi sampai beberapa generasi.
Apakah aliran konvergensi sebagaimana tersebut
diatas dapat kita jadikan pedoman dalam arti bahwa perkembangan seorang siswa
pasti bergantung pada pembawaan dan lingkungan pendidikannya? Sampai batas
tertentu aliran ini dapat kita terima, tetapi tidak secara mutlak. Sebab masih
ada satu hal lagi yang perlu kita ingat yakni potensi psikologis tertentu yang
juga tersimpan rapi dalam diri setiap siswa dan sulit diidentifikasi.
Berdasarkan uraian mengenai aliran-aliran doktrin
filosofis yang berhubungan proses perkembangan diatas, penyusu berkesimpulan
bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya mutu hasil perkembangan siswa pada
dasarnya terdiri atas dua macam:
- Faktor intern, yaitu faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangankan dirinya sendiri.
- Faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang atau ada diluar diri siswa yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan ) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut dengan lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar