Pengaruh Kondisi Lingkungan di
Habitat Tepi Terhadap Tumbuhan dan Satwa
PENDAHULUAN
Di negara
berkembang terutama di daerah tropis, banyak kawasan hutan telah berubah fungsi
menjadi daerah pertanian, perternakan, dan daerah pengembangan kota dalam kurun
waktu beberapa dekade terakhir ini. Kawasan hutan yang semulanya utuh menjadi
terpisah-pisah bahkan terisolasi sehingga terbentuk kelompok-kelompok kecil
kawasan hutan. Proses terbentuknya kelompok-kecil kawasan hutan tersebut dapat
dikategorikan sebagai fragmentasi habitat (Wilcove et al. 1986).
Sayangnya, proses berubahnya fungsi hutan ini juga dapat ditemui di beberapa
hutan alami yang telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi seperti taman
nasional, suaka marga satwa dan cagar alam.
Di Indonesia,
proses berubahnya fungsi hutan di dalam kawasan konservasi melalui berbagai
macam bentuk, misalnya pembangunan jalan, peminjaman atau pelepasan kawasan.
Perubahan kawasan hutan menjadi areal dengan fungsi non-kehutanan di dalam
kawasan konservasi memiliki dampak yang nyata bagi struktur vegetasi dan
komposisi tumbuhan yang ada. Jenis-jenis pohon yang berada tepat di daerah yang
akan dirubah fungsinya akan hilang dan sebagai akibatnya struktur vegetasi dan
komposisi tumbuhan pun berubah. Perubahan ini pada akhirnya akan membentuk
habitat tepi (habitat edge) (Murcia, 1995) atau yang dulu lebih
dikenal dengan istilah ekoton (Ries et al. 2004). Kondisi lingkungan
di habitat tepi memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi lingkungan
di dalam hutan. Kondisi yang berbeda ini akan memiliki dampak ekologis terhadap
tumbuhan, hewan maupun organisme lain. Dampak dari bertemunya dua kondisi
lingkungan yang berbeda tersebut terhadap tumbuhan dan hewan dapat di sebut
efek tepi (edge effect) (Murcia, 1995).
Melalui
tulisan ini penulis memaparkan beberapa kemungkinan pengaruh dari kondisi
lingkungan di habitat tepi terhadap tumbuhan dan satwa. Paparan yang disajikan
dalam tulisan ini di kembangkan dengan pendekatan studi pustaka.
KONSEP
EFEK TEPI DAN KONDISI LINGKUNGANNYA
Istilah efek
tepi pertama kali digunakan oleh Leopold (1933) dalam Ries et al.
(2004) untuk menggambarkan kecenderungan peningkatan keragaman jenis di lanskap
yang tidak utuh. Dengan banyak penemuan terkini yang mengungkapkan berbagai
bentuk respon tumbuhan dan hewan serta organisme lain terhadap kondisi
lingkungan di habitat tepi, konsep efek tepi telah berkembang. Respon tumbuhan
dan hewan tidak hanya menunjukkan kecenderungan peningkatan keragaman jenis
tetapi juga menunjukkan penurunan atau tanpa perubahan (Ries et al.
2004). Berdasarkan kecenderungan tersebut, Ries et al. (2004) membagi
respon organisme menjadi tiga kelompok: respon positif jika parameter yang
diamati seperti: kelimpahan dan keragaman jenis meningkat di habitat tepi;
respon negatif jika ada kecenderungan penurunan dari parameter di habitat tepi
yang diamati; dan respon netral bila tidak ada perbedaan nilai dari parameter
yang diamati baik di habitat tepi maupun di dalam hutan.
Habitat tepi
terbentuk jika suatu wilayah kawasan hutan diubah fungsinya untu non-kehutanan,
seperti: jalan atau areal pemukiman. Salah satu konsekuensi dari perubahan
fungsi kawasan tersebut adalah perubahan kondisi lingkungan. Murcia (1995)
menandaskan bahwa perubahan kondisi mikro lingkungan ini disebabkan oleh
perubahan struktur komposisi dan vegetasi di habitat tepi. Sejumlah penelitian
membuktikan efek tepi terhadap parameter lingkungan, seperti: intensitas
cahaya, suhu udara, kelembapan udara dan tanah (Chen et al. 1993;
Matlack, 1993; Young dan Mitchell 1994; Jose et al. 1996; Didham dan
Lawton 1999; Davies-Colley et al. 2000; Dignan dan Bren 2003).
Perbedaan intensitas cahaya dan suhu udara, pada khususnya, terjadi pada
beberapa jarak dari tepi hutan, tergantung pada arah hadapan tepi hutan dan struktur
vegetasi di habitat tepi (Murcia, 1995). Matlack (1993) membuktikan bahwa
intensitas cahaya dan suhu udara berkurang seiring dengan bertambahnya jarak
dari tepi hutan yang menghadap ke timur, barat dan selatan di hutan
Pennsylvania dan Delaware, USA
Walaupun
penelitian tersebut membuktikan pengaruh negatif tepi hutan terhadap parameter
lingkungan, namun beberapa penelitian di daerah tropis menunjukkan hasil yang
berbeda. Turton dan Freiburger (1997), misalnya, menemukan efek tepi yang tidak
nyata terhadap kondisi mikro lingkungan di hutan tropis di Atherton Tableland,
Australia. Penelitian lain oleh Camargo dan Kapos (1995) melaporkan
kompleksitas efek tepi terhadap kelembaban tanah di hutan tropis Amazon. Murcia
(1995) menyebutkan bahwa perbedaan hasil dan interpretasi dari penelitian efek
tepi mungkin disebabkan oleh penerapan metodologi yang tidak seragam,
perancangan percobaan yang tidak memadai dan kemungkinan adanya respon spesifik
dari tiap lokasi penelitian.
PENGARUH
KONDISI LINGKUNGAN DI HABITAT TEPI
Dampak
ekologis kondisi lingkungan di habitat tepi terhadap tumbuhan dan hewan telah
banyak diteliti sejak lama. Hasil kajian dari para pakar menunjukkan temuan
yang berbeda-beda. Pada umumnya, respon tumbuhan dan hewan terbagi menjadi tiga
golongan: positif, netral dan negatif. Murcia (1995) berpendapat bahwa variasi
respon ini mungkin sebabkan oleh beberapa faktor yang telah disebutkan di atas,
seperti: penggunaan metodologi yang tidak sama.
Walaupun ada
kemungkinan pengaruh positif dari habitat tepi, Primack (2004) menyebutkan
bahwa organisme yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan di habitat
tepi memiliki kemungkinan untuk punah. Penelitian pada tumbuhan, menunjukkan
penurunan kelimpahan jenis pohon yang memiliki diameter batang yang besar di
hutan semi-arid Argentina (Casenave et al. 1995). Hylander (2005)
dalam penelitiannya juga menemukan bukti penurunan tingkat pertumbuhan lumut
(Bryophyta) yang ditumbuhkan di dalam pot yang diletakkan pada beberapa jarak
dari tepi hutan boreal di Swedia. Efek tepi juga memiliki pengaruh negatif
terhadap perkembangan dan kemelimpahan biji tumbuhan herba Trillium
camschatcense Ker Gawler di salah satu hutan di Hokaido, Jepang (Tomimatsu
dan Ohara 2004). Selain ketiga penelitian tersebut, Cadenasso dan Pickett
(2000) melaporkan kecenderungan kerusakan anakan pohon akibat herbivori
(aktivitas satwa yang memakan bagian tumbuhan) di tepi hutan di New York, USA.
Dampak
negatif serupa juga dijumpai pada hewan. Kajian tentang efek tepi terhadap
herpetofauna (reptil and amfibi) di Madagaskar menunjukkan bahwa kelompok hewan
tersebut terpengaruh oleh perubahan kondisi lingkungan di habitat tepi
(Lehtinen et al. 2003). Lehtinen et al. (2003) menyebutkan
bahwa sensitifitas jenis hewan tertentu terhadap kondisi lingkungan di habitat
tepi memiliki hubungan dengan ancaman kepunahan jenis hewan tersebut.
Penelitian lain di Uganda melaporkan tingginya kerusakan lahan pertanian yang
berbatasan dengan tepi hutan akibat aktivitas monyet liar (Saj et al.
2001).
IMPLIKASI TERHADAP
KONSERVASI
Mengingat
dampak dari terbentuknya habitat tepi, ada dua pilihan strategi yang harus
diambil untuk menjaga keanekaragaman hayati di habitat yang mengalami
fragmentasi (Matlack dan Litvaitis 1999). Pertama, pengelola kawasan konservasi
tidak mengijinkan perubahan dalam bentuk apapun terhadap kawasan konservasi.
Langkah ini akan melindungi semua jenis tumbuhan dan hewan yang ada. Kedua,
kebijakan dalam penetapan perubahan status kawasan hutan harus mengikuti
prosedur yang ketat dengan mempertimbangkan segala kemungkinan dampak
negatifnya terhadap ekosistem yang ada di dalam hutan. Walaupun pilihan kedua
ini mungkin dilakukan, penulis tidak menganjurkan penerapan strategi ini. Hal
ini dikarenakan adanya kemungkinan kesulitan bagi pengelola kawasan konservasi
untuk mengantisipasi pengaruh negatif lain yang dipicu oleh perubahan status
kawasan hutan di dalam kawasan konservasi, misalnya memberikan akses jalan bagi
pemburu, perambah hutan atau penebang liar.
Paling tidak
ada dua hal yang harus dipertimbangkan jika strategi kedua ingin diterapkan.
Pertama, pembentukan fragmen hutan (kelompok tutupan hutan yang dipisahkan oleh
suatu wilayah yang tidak berhutan, seperti jalan, daerah pemukiman, dll.) yang
berukuran kecil harus dihindari. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan
bertambahnya intensitas dari efek tepi terhadap tumbuhan dan hewan, dan pada
akhirnya menyebabkan berkurangnya habitat bagi jenis tumbuhan dan hewan yang
sensitif terhadap kondisi lingkungan di habitat tepi. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa ada hubungan negatif antara luas fragmen hutan dengan keanekaragaman dan
kelimpahan jenis tumbuhan (Benitez-Malvido dan Martinez-Ramos 2003; Zartman
2003) dan hewan (Rogo dan Odulaja 2001; Harcourt dan Doherty 2005). Seberapa
kecil fragmen hutan yang dapat menunjang keanekaragaman hayati tergantung jenis
tumbuhan atau hewan yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Penelitian oleh Zartman (2003) membuktikan bahwa fragmen hutan yang kurang dari
10 hektar berpengaruh negatif terhadap kemelimpahan jenis lumut epifil (tumbuh
di daun) dibandingkan fragmen hutan yang berukuran 100 hektar.
Hal lain yang
perlu diperhatikan dalam penetapan perubahan status hutan di dalam kawasan
konservasi adalah bentuk dari fragmen hutan yang tersisa. Williams dan Pearson
(1997) membuktikan adanya pengaruh bentuk fragmen hutan terhadap vertebrata
(hewan bertulang belakang) endemik di bioregion Wet Tropics, Australia.
Pengaruh bentuk ini terjadi jika fragmen hutan memiliki bentuk yang tidak
beraturan dan daerah yang tidak terkena efek tepi berukuran kecil.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Luas tutupan
hutan di daerah tropis semakin berkurang tiap tahunnya. Sayangnya, proses ini
juga terjadi di kawasan konservasi seperti taman nasional, suaka marga satwa
dan cagar alam. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan pembentukan habitat
tepi. Kondisi lingkungan di habitat tepi, seperti peningkatan intensitas cahaya
dan penurunan kelembapan udara, akan mempengaruhi jenis tumbuhan dan hewan yang
sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan tersebut. Dikarenakan adanya
kemungkinan dampak negatif perubahan kondisi lingkungan di habitat tepi,
pengelola kawasan konservasi perlu mempertimbangkan beberapa hal, seperti
perubahan bentuk fragmen hutan dan luasan minimum untuk fragmen hutan guna
mengantisipasi dampak negatif tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar